METODOLOGI TAFSIR
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Tafsir Pendidikan
dibawah ampuan dosen : DR. Amir Mahmud
Disusun Oleh
Fauziah Af’idati (X.03/14.15/T/02.10061)
SEKOLAH TINGGI MAMBAUL ‘ULUM
SURAKARTA
TAHUN 2015/2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Allah berfirman dalam ayatnya:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ [ص : 29]
“ Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” ( Shad (38):29).
أفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا [محمد : 24]
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad (47) : 21)
Pada ayat yang pertama di atas, dijelaskan bahwa hikmah diturunkannya al-Qur’an adalah agar manusia mentadaburi ayat-ayat yang ada di dalamnya. Sedang pada ayat kedua, Allah mencela orang-orang yang tidak mau mentadaburi al-Qur’an. Padahal di sisi lain, seseorang tidak bisa mentadaburi al-Qur’an tanpa mengetahui maksud-maksud dari lafadz-lafadz al-Qur’an. Dari hal itu, jelas bahwa penafsiran al-qur’an sangat penting bagi kita.
Hingga saat ini, ada 4 metode penafsiran yang dilakukan oleh Para mufassir, agar penafsiran yang dilakukan lebih terarah, sistematis dan tidak menyimpang dari tujuan awalnya atau bahkan tidak melakukan penafsiran yang menyesatkan banyak manusia.
B.Rumusan Masalah
1.Apa yang dimaksud metodologi penafsiran?
2.Apa saja metode-metode penafsiran dalam al-Qura’an?
3.Bagaimana cirri-ciri metode-metode tafsir tersebut?
C.Tujuan
Untuk mengetahui pengertian metodologi penafsiran.
Untuk memahami macam-macam metode penafsiran.
Untuk memahami sifat dan cirri-ciri dari metode penafsiran.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Metodologi Tafsir
Metodologi merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, methodology, yang awalnya berasal dari bahasa methodos yang berarti cara atau jalan dan logos yang berarti pengetahuan. Dengan demikian metodologi merupakan wacana tentang cara melakukan sesuatu. Dalam bahasa Arab, metodologi diterjemahkan dengan manhaaj atau minhaaj (Q.S. al-Maidah (5) : 48) yang berarti jalan terang. Adapun dalam bahasa Indonesia, metodologi diartikan dengan “ilmu atau uraian tentang metode”. Sedangkan metode sendiri berarti “cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan”. Menurut Robert Bogdan dan Steven J. Taylor, dalam pengertian luas, metodologi merujuk pada arti proses, prinsip dan prosedur yang diikuti dalam mendekati persoalan dan menemukan jawabannya.
Tafsir secara bahasa berasal dari kata bahasa arab, fassara-yufassiru-tafsiiran, yang berarti penjelasan, pemahaman, dan perincian. Bisa juga berarti al-idhahah wa at-tabyin yaitu penjelasan dan keterangan. Pendapat lain mengatakan bahwa kata tafsir adalah bentuk mashdar kata taf’il, yang diambil dari kata al fasr, yang berarti al-ibaanah (menjelaskan), al-kasyfu (menyingkap) dan al-idzhaaru (menampakkan) al-ma’na al-ma’quul (ma’na yang logis).
Sedang pengertian tafsir banyak dikemukakan oleh para pakar dengan banyak pengertian, namun tetap memiliki makna yang sama dan saling melengkapi. Abu Hayyaan mengatakan bahwa tafsir ialah Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz al-quran dan pengertian-pengertian yang ditujukan olehnya, hukum-hukumnya yang tunggal dan bergandeng dengan yang lain, makna-makna yang berkaitan dengan kondisi struktur kalimat dan hal lain yang menyempurnakannya.
Al-Imam Az Zarqani mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan Al-qur’an baik dari segi pemahaman ma’na atau arti sesuai dikehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan manusia. Az-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah (Al qur’an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung didalamnya. Adapun menurut istilah tafsir menurut al-‘Utsaimin adalah penjelasan makna-makna al-Qur’an.
Dengan demikian secara singkat dapat diambil suatu pengertian bahwa yang dimaksud dengan metodologi tafsir adalah suatu prosedur sistematis yang diikuti dalam upaya memahami dan menjelaskan maksud kandungan al-Quran.
B.METODE PENAFSIRAN AL-QURAN
Ada empat macam metode penafsiran dalam al-Quran, antara lain:
Metode Tahlili (Analitis)
Pengertian metode tahlili
Kata tahlili adalah bentuk masdar dari kata hallala-yuhallilu-tahliilan, yang berasal dari kata halla-yahullu-halln yang berarti membuka sesuatu. Tidak ada sesuatu pun yang tertutup darinya. Itu berarti dapat difahami bahwa kata tahlil adalah membuka sesuatu yang tertutup atau yang terikat dan mengikat sesuatu yang berserakan agar tidak terlepas atau tercecer.
Definisi penafsiran tahlili adalah metode penafsiran al-Quran yang dilakukan dengan cara menjelaskan ayat-ayat al-Quran dalam berbagai aspek, serta menjelaskan maksud yang terkandung di dalamnya sehingga kegiatan mufassir hanya menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat, makna lafal tertentu, susunan kalimat, persesuaian kalimat satu dengan kalimat lain, asbabun nuzul, nasikh mansukh, yang berkenaan dengan ayat yang ditafsirkan.
Sistematika metode analitis biasanya diawali dengan mengemukakan korelasi (munasabah) baik antar ayat maupun surat, menjelaskan latar belakang turunnya surat (asbabun nuzul nya), menganalisis kosa kata dan lafadz dalam konteks bahasa Arab, menyajikan kandungan ayat secara global, menjelaskan hukum yang dapat dipetik dari ayat, lalu menerangkan ma’na dan tujuan syara’ yang terkandung dalam ayat. Untuk corak tafsir ilmu dan sosial kemasyarakatan, biasanya penulis memperkuat argumentasinya dengan mengutip pendapat para ilmuwan dan teori ilmiah kontemporer.
Para ulama’ membagi wujud tafsir dengan metode tahlili dengan 7 macam tafsir, yaitu at-Tafsir bi al-Ma’tsuur, at-Tafsir bi ar-Ra’yi, at-Tafsir ash-Shuufiy, at-Tafsir al-Fiqhiy, at-Tafsir al-Falsafiy, at-Tafsir al-‘Ilmiy, dan at-Tafsir al-Adabiy al-Ijtimaa’iy. Ada juga yang membagi dari segi praktiknya menjadi dua bentuk, yaitu Ma’tsûr dan Ra’yi, sedangkan penyajian karya tafsirnya meliputi bahasa, hukum, ilmu pengetahuan, mistik, filsafat dan sastra sosial kemasyarakatan.
Contoh metode tahlili
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ (1) مَلِكِ النَّاسِ (2) إِلَهِ النَّاسِ (3)
عفان، عن وُهَيب (1) عن هشام، به (2) .
ورواه الإمام أحمد أيضًا عن إبراهيم بن خالد، عن رباح، عن مَعْمَر، عن هشَام، عن أبيه، عن عائشة قالت: لبث رسول الله صلى الله عليه وسلم ستة أشهر يُرى أنه يأتي ولا يأتي، فأتاه ملكان، فجلس أحدهما عند رأسه، والآخر عند رجليه، فقال أحدهما للآخر: ما باله؟ قال: مطبوب. قال: ومن طبه؟ قال: لبيد بن الأعصم، وذكر تمام الحديث (3) .
وقال الأستاذ المفسر الثعلبي في تفسيره: قال ابن عباس وعائشة، رضي الله عنهما: كان غلام من اليهود يخدم رسول الله صلى الله عليه وسلم فدبَّت إليه اليهود، فلم يزالوا به حتى أخذ مُشَاطة رأس النبي صلى الله عليه وسلم وعدة أسنان من مُشطه، فأعطاها اليهود، فسحروه فيها. وكان الذي تولى ذلك رجل منهم -يقال له: [لبيد] (4) بن أعصم-ثم دسها في بئر لبني زُرَيق، ويقال لها: ذَرْوان، فمرض رسول الله صلى الله عليه وسلم وانتثر شعر رأسه، ولبث ستة أشهر يُرَى أنه يأتي النساء ولا يأتيهن، وجعل يَذُوب ولا يدري ما عراه. فبينما هو نائم إذ أتاه ملكان فَقَعَد أحدهما عند رأسه والآخر عند رجليه، فقال الذي عند رجليه للذي عند رأسه: ما بال الرجل؟ قال: طُبَ. قال: وما طُبَ؟ قال: سحر. قال: ومن سحره؟ قال: لبيد بن أعصم اليهودي. قال: وبم طَبَه؟ قال: بمشط ومشاطة. قال: وأين هو؟ قال: في جُفَ طلعة تحت راعوفة في بئر ذَرْوَان -والجف: قشر الطلع، والراعوفة: حجر في أسفل البئر ناتئ يقوم عليه الماتح -فانتبه رسول الله صلى الله عليه وسلم مذعورًا، وقال: “يا عائشة، أما شعرت أن الله أخبرني بدائي؟ “. ثم بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم عليا والزبير وعمار بن ياسر، فنزحوا ماء البئر كأنه نُقاعة الحناء، ثم رفعوا الصخرة، وأخرجوا الجف، فإذا فيه مشاطة رأسه وأسنان من مشطه، وإذا فيه وتر معقود، فيه اثنتا عشرة (5) عقدة مغروزة بالإبر. فأنزل الله تعالى السورتين، فجعل كلما قرأ آية انحلت عقدة، ووجد رسول الله صلى الله عليه وسلم خفة حين انحلت العقدة الأخيرة، فقام كأنما نَشطَ من عقال، وجعل جبريل، عليه السلام، يقول: باسم الله أرْقِيك، من كل شيء يؤذيك، من حاسد وعين الله يشفيك. فقالوا: يا رسول الله، أفلا نأخذ الخبيث نقتله؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “أما أنا فقد شفاني الله، وأكره أن يثير على الناس شرًا” (6) .
هكذا أورده بلا إسناد، وفيه غرابة، وفي بعضه نكارة شديدة، ولبعضه شواهد مما تقدم، والله أعلم
Dalam surat An-Nas yang diambil dari di atas, kita bisa menemukan beberapa cirri-ciri tafsir talili. Yaitu:
1.Menggunakan model penafsiran bil ma’tsur, yaitu penafsiran dengan cara riwayah bi ar-riwayah. Al-Qur’an dengan hadits.
2.Sabab nuzul yang diterangkan bahwa Rasulullah sakit yang disebabkan karena mendapat serangan sihir dari seorang yahudi yang bernama Labid bin Al-A’shom.
C..Model metode tafsir tahlili
Ada beberapa model penafsiran, antara lain:
1.Menerangkan makki dan madani di awal surat
2.Menerangkan asbabun nuzul, jika ada
3.Menerangkan arti (kosa kata), termasuk kajian bahasa yang mencakup I’rab dan balaghah
4.Menerangkan unsur-unsur fasahah,bayan,dan I’jaz-nya.
5.Memaparkan kandungan ayat secara umum, dan maksudnya.
6.Menjelaskan hukum yang dapat digali dari ayat yang dibahas.
D.Ciri-ciri metode tafsir tahlili
cirri-ciri tafsir tahlili adalah:
1.Mufassir menafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara berurutan sesuai dengan urutannya dalam mushaf
2.Seorang mufassir berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-qur’an secara komprehensif dan menyeluruh, baik dari segi I’rab, asbabun nuzul dan yang lainnya.
3.Dalam penafsirannya, seorang mufassir menafsirkan ayat-ayat baik melalui pendekatan bil-ma’sur maupun bir ra’yi.
B.Metode Ijmali (Global)
a.Pengertian metode ijmali
Metode penafsiran ini dilakukan dengan cara menjelaskan maksud al-Qur’an secara global, tidak terperinci seperti tafsir tahlili. Para pakar menganggap bahwa metode ini merupakan metode yang pertama kali hadir dalam sejarah perkembangan metodologi tafsir, karena didasarkan pada kenyataan bahwa era awal mula Islam, metode inilah yang dipakai dalam memahami dan menafsirkan al-Quran. Ini terjadi lantaran para sahabat saat itu adalah orang-orang Arab yang ahli dalam bahasa Arab dan mengetahui dengan baik latar belakang asbabun nuzul ayat, bahkan menyaksikan serta terlibat langsung dalam situasi dan kondisi umat Islam ketika ayat-ayat al-Quran turun. Selain itu sahabat juga tidak memerlukan penjelasan yang rinci dari Nabi, tetapi cukup dengan isyarat dan uraian sederhana.
Langkah yang dilakukan para mufassir dalam menafsirkan al-qur’an dengan metode ini adalah membahas ayat demi ayat sesuai dengan urutan yang ada pada mushaf, lalu mengemukakan arti yang dimaksud ayat-ayat tersebut dengan global. Makna yang diutarakan biasanya diletakkan di dalam rangkaian ayat atau menurut pola-pola yang diakui jumhur ulama’ dan mudah difaham semua orang. Adapun bahasa, diupayakan lafadznya mirip bahkan sama dengan lafadz yang digunakan al-Quran, sehingga pembaca bisa merasakan bahwa uraian tafsirnya tidak jauh berbeda dari gaya bahasa al-Quran dan terkesan bahwa hal itu benar-benar mempresentasikan pesan al-Quran.
b.Contoh penafsiran metode ijmali
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ (1)
{ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الناس } خالقهم ومالكهم خُصُّو بالذكر تشريفاً لهم ومناسبة للاستفادة من شر الموسوس في صدورهم . مَلِكِ النَّاسِ (2)
{ مَلِكِ الناس } .
Dalam penafsiran metode ijmali ini, maka kita dapati bahwa penafsiran sungguh begitu singkat sekali, bahkan pada ayat dua, lafadz tafsir dan lafadz al-qur’an sama.
c.Kelebihan dan Kekurangan Metode Ijmaliy
-Kelebihan metode tafsir Ijmali
-Praktis, simplistis dan mudah dipahami
-Bebas dari penafsiran israiliyyat
-Akrab dengan bahasa a-qur’an
Kekurangan
-Menjadikan petunjuk al-Qur’an bersifat parsial dan tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai
-Tidak mampu mengantarkan pembaca untuk mendialogkan al–Qur’an dengan permasalahan sosial maupun keilmuan yang actual dan problematika.
-Menimbulkan ketidak puasan pakar al-Qur’an dan memicu mereka untuk menemukan metode lain yang dipandang lebih baik dari pada metode ijmali.
C.Metode Muqarrin (Perbandingan)
a.Pengertian metode muqarrin
Metode ini dilakukan dengan menemukan dan mengkaji perbedaan-perbedaan antara unsur-unsur yang diperbandingkan, baik dengan menemukan unsur yang benar diantara yang kurang benar, atau untuk tujuan memperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai masalah yang dibahas dengan jalan penggabungan unsur-unsur yang berbeda itu.
Tafsir muqarrin dilakukan dengan membandingkan satu ayat dengan ayat yang lain atau dengan ayat-ayat yang mempunyai kemiripan redaksi dalam dua masalah atau kasus yang berbeda atau yang memiliki redaksi yang berbeda untuk kasus yang sama, atau yang diduga sama, atau membandingkan ayat dengan hadis yang tampak bertentangan, serta membandingkan pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran Al qur’an. Jadi bila dilihat dari pengertian itu, ada tiga kelompok 3 objek kajian tafsir, yaitu membandingkan ayat al-Qur’an dengan ayat yang lain, membandingkan ayat dengan hadits Nabi SAW (yang terkesan bertentangan), dan membandingkan pendapat penafsiran ulama tafsir (baik ulama salaf maupun ulama khalaf).
b.Contoh tafsir metode muqarrin
Contoh penafsiran dengan metode ini bisa dilihat dalam kitab rawaa’i Al-Bayan fii ayaatil ahkam karya syaikh Ali As-Shobuni.
Bahasannya setiap bab tentang hukum, Ada bahasan dalam setiap bab, yang masing-masing bab disampaikan dengan membandingkan ayat al-Qur’an dengan ayat yang lain, ayat dengan hadits Nabi SAW (yang terkesan bertentangan), dan membandingkan pendapat penafsiran ulama tafsir (baik ulama salaf maupun ulama khalaf).
Misal dalam bab shalawat atas nabi, akan dijelaskan penafsirannya, kemudian pendapat ulama, seperti Fakhrur Razi, imam Syafi’I, pendapat para ulama lainnya, hingga dalil-dalil yang mereka gunakan.
b.Kelebihan metode tafsir muqarrin
1.Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain.
2.Berguna bagi orang yang ingin mengetahui berbagai pendapat dalam suatu ayat.
3.Mendorong mufassir untuk mengkaji berbagai ayat dan hadits, serta pendapat para mufassir yang lain.
4.Membuktikan ketelitian Al-Qur’an
5.Meyakinkan bahwa tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang kontradiktif.
6.Memperjelas makna dalam ayat.
c.Kekurangan Metode Tafsir Muqarrin
1.Tafsir ini tidak dapat diberikan pada para pemula
2.Kurang dapat diandalkan dalam menjawab permasalan sosial yang tumbuh di tengah masyarakat. Itu disebabkan metode ini lebih mengutamakan perbandingan dari pada pemecahan masalah.
3.Metode ini terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran baru.
D.Metode Maudhu’i (Tematik).
a.Pengertian tafsir metode maudhu’i.
Tafsir dengan metode ini dilakukan dengan cara memilih topik tertentu dengan penjelasan yang dicari di dalam ayat al-Quran yang berhubungan dengan topik itu, kemudian dicari keterkaitan antara ayat satu dengan yang lain agar bersifat saling menjelaskan, hingga yang terakhir adalah bisa ditarik kesimpulan akhir berdasarkan pemahaman mengenai ayat-ayat yang saling berkaitan itu.
Metode ini diperkenalkan pertama kalinya oleh Syekh Mahmud Syaltut (1960 M) ketika menyusun tafsirnya, Tafsir Al-Qur’anul Karim. Sebagai penerapan ide yang dikemukakan oleh asy-Syatibi, ia berpendapat bahwa walaupun masalah yang dikemukakan berbeda-beda, namun tetap ada satu tema yang sentral pada setiap surat yang saling mengikat dan menghubungkan setiap masalah yang berbeda tersebut. Ide ini kemudian dikembangkan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumi. Ketua Jurusan Tafsir pada fakultas Usuluddin Universitas AL-Azhar sampai tahun 1981. Berikutnya Prof.Dr. Al-Farmawi menyusun sebuah buku yang memuat langkah-langkah tafsir maudhu’I yang diberi judul al-bidayah wan nihayah fi tasir al-maudhu’i.
Prosedur penafsiran al-Quran dengan metode tematik dapat dirinci sebagai berikut :
Menentukan bahasan al-Quran yang akan diteliti secara tematik.
Melacak dan mengoleksi ayat-ayat sesuai dengan topik yang diangkat.
Menata ayat-ayat tersebut secara kronologis (sebab turunnya), mendahulukan ayat Makiyyah dan Madaniyyah, disertai pengetahuan tentang latar belakang turunnya ayat.
Mengetahui korelasi (munasabah) antar ayat-ayat tersebut.
Menyusun tema bahasan dalam kerangka yang sistematis.
Melengkapi bahasan dengan hadits-hadits yang terkait.
Mempelajari ayat-ayat secara tematik dan komprehensif dengan cara mengoleksi ayat-ayat yang memuat makna yang sama, mengkompromikan pengertian yang umum dan khusus, muthlaq dan muqayyad, mensinkronkan ayat-ayat yang tampak kontradiktif, menjelaskan nasikh dan mansukh sehingga semuanya memadu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan dalam penafsiran.
b.Contoh Metode Maudhu’i.
Dalam kitab ayat ahkam, disampaikan penafsiran secara tema yang dibahas. Tema-tema itu mengambil dalil dari ayat-ayat al-qur’an yang saling berkaitan, dengan kerangka yang sistematis, hingga dijelaskan ulumul qur’an yang terkandung di dalamnya. seperti am lil khos, mutlaq-muqoyyad, maupun asbabun nuzul.
Bahasan-bahasan dalam jilid tiga kitab ayat ahkan antara lain adalah:
1.Ta’at kepada orang tua.
2.Pengangkatan anak di zaman Jahiliyyah.
3.Warisan untuk dzawil Arham
4.Talak sebelum disentuh.
5.Beberapa hukum tentang pernikahan nabi.
6.Di antara tata krama dalam walimah.
7.Shalawat atas nabi saw.
Hijab wanita muslimah.
8.Hukum patung dan gambar.
Perang dalam Islam.
9.Membatalkan amal yang sedang dalam pelaksanaan.
10.Mencari kebenaran berita.
11.Hukum menyentuh msuhafal-Qur’an.
Dll.
c.Kelebihan metode maudhu’i.
1.Memberikan pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan hidup praktis, sekaligus memberikan jawaban terhadap tuduhan/dugaan sementara orang bahwa al-quran hanya mengandung teori-teori spekulatif tanpa menyentuh kehidupan nyata.
2.Sebagai jawaban terhadap tuntutan kehidupan yang selalu berubah dan berkembang, menumbuhkan rasa kebanggaan terhadap al-Quran.
3.Studi terhadap ayat-ayat terkumpul dalam satu topik tertentu juga merupakan jalan terbaik dalam merasakan fasahah dan balaghatul Quran.
4.Kemungkinan untuk mengetahui satu permasalahan secara lebih mendalam dan lebih terbuka.
Lebih tuntas dalam membahas masalah.
d.Kekurangan metode maudhu’I.
1.Melibatkan pikiran dalam penafsiran terlalu dalam.
2.Tidak menafsirkan segala aspek yang dikandung satu ayat, tetapi hanya salah satu aspek yang menjadi topik pembahasan saja
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Allah sudah menyempurnakan risalah Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa sallam sebelum beliau meninggal. Di antara kesempurnaannya itu adalah islam merupakan agama yang rahmatan lil alamin. Islam memiliki jawaban dari setiap permasalahan yang ada dengan menampilkan banyak hukum dari dalil-dalil yang sudah digali, baik dari al-qur’an, sunnah, ijma’ maupun qiyas.
Untuk menggali apa yang dikandung di dalam al-qur’an itulah, kita mendapatkan beberapa metode yang sudah digunakan oleh para ulama kita. Antara lain adalah metode ijmaly, metode penafsiran paling tua yang digunakan para sahabat, metode tahlili, metode muqarrin dan yang terakhir adalah penafsiran dengan metode maudhu’i.
Setiap metode memiliki banyak kekurangan maupun kelebihan. Tapi dari semua metode itu, kita bisa berkesimpulan bahwa mempelajari, serta memahami al-qur’an adalah sesuatu hal yang wajib. Bahkan di dalam sebuah hadits disebutkan bahwa “ sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-qur’an dan mengajarkannya.”
Selama penafsiran itu benar, tidak sesat, maka kita boleh mengajarkan dan mengamalkannya. Dalam mempelajari ilmu tafsir pun, kita juga harus memperhatikan mufassirnya agar kita tidak terjatuh dalam kesesatan. Namun perlu kita ingat juga, bahwa tonggak dalam mempelajari tafsir adalah bahasa arab. Kemampuan bahasa arab inilah yang akan menghantarkan kita dalam mempelajari kitab-kitab tasfsir secara lebih dalam. Mengingat al-qur’an, as-sunnah dan bahkan kitab-kitab tafsir dari para ulama salaf maupun kholaf, semuanya menggunakan bahasa arab.
DAFTAR PUSTAKA
1.Dr.H.Ahmad Syukri Saleh,MA, Metodologi Tafsir al-Quran Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman, Sulthan Thaha Press, Februari 2007.
2.Dr.Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Quran, Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI),Cet.pertama November 1998,Cet.kedua Agustus 2000
3.Al-Qattan, Manna, Al-Mabaahist fi al-Umulumil Qur’an, Beirut
3.Maktabah syamilaah.
4.Mu’ammal Hamidy Lc, Drs. Imran A. Mannan, Tafsir Ayat Ahkam, Pustaka Ilmu, Surabaya.